Pendidikan Buddhis Part 2

D. Makna dan Tujuan Pendidikan
Pendidikan adalah penerusan nilai, pengetahuan, kemampuan, si­kap dan tingkah laku; yang dalam arti luas pendidikan merupakan hidup itu sendiri (dan belajar itu seumur hidup), sebagai proses me­nyingkirkan kebodohan dan mendewasakan diri menuju kesempurna­an. Pendefinisian ini mendekati pandangan sosiologis, antropologis dan psikologis. Disiplin keilmuan lain mungkin saja memiliki rumus­an yang lebih khusus. Pendidikan merupakan usaha yang disengaja dan teren­cana untuk meno­long seseorang belajar dan bertanggung­jawab, mengembangkan diri atau mengubah perilaku, sehing­ga ber­manfaat bagi kepentingan individu dan masyara­kat. Dengan memiliki pengetahuan, seseorang memiliki bekal untuk bekerja, dan membantu atau melayani orang lain dengan baik.
Tujuan umum pendidikan tak berbeda dengan tujuan pembabaran agama sebagaimana yang di­amanatkan oleh Buddha kepada enam pu­luh orang Arahat. Mereka mengemban misi atas dasar kasih sayang,  demi kebaikan, membawa kesejahteraan, keselamatan dan kebaha­giaan bagi orang ba­nyak (Vin.I.21). Karena men­datang­kan kebaikan ini, memiliki pengeta­huan dan keterampilan merupakan berkah utama (Mangala-sutta).
Pendi­dikan agama Buddha berdasarkan kasih sa­yang, menjadi sa­lah satu cara untuk menyingkir­kan penderitaan dan memperbaiki na­sib sese­orang. “Di sini Yasa, tiada yang mencemaskan. Di sini Yasa, tiada yang me­nyakitkan. Ke sini Yasa, Aku akan mengajarmu,” ucap Buddha kepa­da Yasa (Vin. 1. 15). Buddha adalah guru yang se­ring diposisikan juga sebagai dokter, dan ajaran-Nya diiba­ratkan se­ba­gai obat yang dipergunakan dengan tepat (Pmj. 21).
Pendidikan agama jelas menolong untuk menghentikan segala ben­­tuk ke­jahatan. “Aku telah ber­henti. Engkau pun berhenti­lah,” seru Buddha kepada Angulimala (M. II. 99). ”Melihat kejahatan sebagai kejahatan, inilah ajaran Dharma yang pertama. Setelah me­lihat ke­jahatan sebagai kejahatan, jauhilah itu, singkirkan itu hingga bersih, bebaskan diri dari hal itu, inilah ajaran Dharma yang ke­dua.” (It. 33).
Ajaran Buddha atau Dharma dipan­dang sebagai pelita yang me­ne­rangi kegelapan. Buddha menga­jarkan:' Peganglah teguh Dharma se­ba­gai pelita, peganglah teguh Dharma sebagai pelindungmu, dan dengan itu berarti seseorang menjadi pelita dan pelindung bagi diri sen­diri, sehingga tidak me­nyandarkan nasibnya pada makhluk lain (D. II.100).  
D. Dasar Psikologis Pendidikan.
Teori Konvergensi mendekati pandangan Buddhis. Teori pendidikan terkait dengan perkembangan anak, dapat dibedakan atas: 1) Teori empirisme (John Locke), optimisme bahwa lingkungan dapat di­atur dan dikuasai oleh manusia untuk membentuk anak yang lahir bagaikan kertas putih yang bersih (tabula rasa). 2) Teori na­tivisme atau pesimisme (Scho­pen­hauer), berpendapat bahwa anak sudah ditentukan sejak lahir, berpembawaan baik dan buruk, sehingga lingkungan tak berdaya mem­pe­ngaruhi perkembangan anak. 3) Teori naturalisme atau negativisme (J.J. Rousseau) melihat semua manusia lahir dengan pemba­waan baik, tetapi menjadi buruk karena pendi­dikan yang diberikan oleh manusia sendiri, sehingga sebaiknya proses pendidikan diserahkan saja pada alam. 4) Teori konvergensi (William Stern) berpendapat bahwa pem­­bawaan maupun ling­kungan kedua-duanya mem­punyai pengaruh terhadap hasil perkembangan anak. Orang dilahir­kan de­ngan pembawaan baik dan buruk, serta dapat berubah karena penga­ruh lingkungan, dalam hal ini maksudnya pendidikan. Hasil pendi­dikan bergantung dari pembawaan dan lingkungan. Bud­dha le­bih jauh lagi menunjukkan bagai­mana perbuatan aktif masa sekarang dapat meniadakan akibat karma buruk masa lalu.
Manusia dilahirkan dengan harkat dan martabat yang sama. Bah­kan semua makhluk mempunyai potensi untuk mencapai kesempur­na­an dan menjadi Buddha. Buddha sendiri telah berprasetia untuk me­no­long seluruh umat manusia menjadi sama seperti Dia (Saddhar­ma­­­pundarika-sutra II). Masa­lahnya tinggal pada usaha dan per­juang­an masing-masing. Kesempatan bukan di­ten­tukan oleh kela­hiran atau keturunan, tetapi lebih tergantung pada per­buatan atau karma sese­orang dalam kehidupan sekarang. Karena itu manusia dapat meng­ubah na­sibnya. Dalam hal ini pendidikan merupakan perto­long­an yang datang dari lingkungan atau pihak lain.   
1. Keunikan Individu
Walau memiliki kesamaan dalam sifat-sifat umum, setiap manusia memiliki sifat-sifat khas yang berbeda. Tidak ada manusia yang per­sis sama di dunia, sekalipun anak kem­­­bar. Kesamaan harkat tidak meniadakan perbedaan individual setiap manusia yang memiliki kar­ma masing-masing. Karma memba­gi para makhluk menjadi berbeda. Dilihat dari kelahirannya, ada yang menjadi anak orang kaya, ada yang mis­kin; ada yang sehat, ada yang cacat atau sakit-sakitan; ada yang can­tik, ada yang buruk rupa; dan sebagainya (M. III. 202-203). Karena itu setiap orang bersifat unik, berbeda pemba­wa­an atau bakat. Dengan sen­dirinya pula berbeda ke­mam­puan, kecer­dasan, dan kecen­de­rungan atau minatnya.
Bakat diartikan sebagai kemampuan ba­waan, sebagai potensi yang masih perlu dikembangkan dan dilatih agar dapat terwujud. Kemam­puan merupakan daya untuk melakukan suatu tindakan sebagai hasil dari pembawaan dan latihan. Bakat dan kemampuan menentukan pres­­­tasi. Prestasi mencer­minkan bakat, tetapi belum tentu orang ber­bakat akan mencapai prestasi yang tinggi. Hal-hal lain yang ikut me­nentukan prestasi adalah motivasi dan minat, perjuangan dan keuletan (yang tak lain dari karma masa sekarang), dan faktor luar atau ling­­kungan. Faktor lingkungan bisa berupa ke­sem­patan, sarana dan pra­sa­rana, dukungan orang lain, tem­pat tinggal, status sosial ekonomi dan sebagainya.
2. Perkembangan Individu
Buddha membedakan tingkat perkembangan manusia dalam 4 go­longan (A. II.135). Yang pertama, jenius (ugghatitannu), diumpa­makan sebagai bunga teratai yang telah muncul di atas permukaan air dan pasti akan mekar. Yang kedua, intelektual (vipancitannu), seperti bunga teratai yang segera akan muncul di atas permukaan air. Yang ketiga, orang yang dapat dilatih (neyyo), bagaikan bunga teratai yang agak jauh di dalam air, sehingga perlu waktu yang cukup lama untuk muncul di atas permu­kaan air. Yang keempat, orang yang gagal di­la­tih (padaparamo), menyerupai bunga teratai yang tidak sempat mun­cul di atas permukaan air. Sistem pendidikan formal yang massal di­mungkinkan dengan memperhatikan penggolongan tingkat perkem­bangan peserta didik. Bilamana terdapat sejumlah peserta didik yang hampir bersamaan tingkat kemampuan, sama kebutuhan dan minat­nya, perlakuan yang sama bagi semua murid pun menjadi cukup ber­alasan.
Melihat keunikan dan tingkat perkembangan individual, seorang peserta didik mungkin saja menunjukkan kepandaian yang jauh me­lampaui teman-teman seusianya. Dengan demikian usia yang ter­lalu muda tidak boleh menjadi penghalang untuk menempuh dan menye­lesaikan suatu jenjang pendidikan yang lebih tinggi dari biasa­nya. Mereka yang berbakat dan berprestasi sepatutnya mendapat perla­kuan khusus untuk mewujudkan dirinya secara optimal. Pengakuan ter­hadap anak jenius berlaku pula dalam hal kearifan. Buddha menya­takan bahwa seseorang dituakan bukan karena usia, tetapi karena kebijaksanaannya (A. II. 22).  
Mereka yang le­mah dan tertinggal juga memerlukan perhatian khusus, sesuai dengan kebu­tuh­annya. “Barangsiapa tidak mendengar atau belajar, ia akan menjadi tua seperti sapi. Perutnya makin mem­buncit, tetapi kepandaiannya tidak berkembang. Sebaliknya barang­siapa telah banyak mendengar dan belajar, lalu memandang rendah dia yang tertinggal dalam pendidikan, bagaikan orang  buta yang me­me­gang lampu, begitu aku menilai orang seperti itu,” demikian di­katakan oleh Ananda (Thag. 1025-1026).
3. Individualitas Bukan Individualisme
Setiap orang adalah pelindung bagi dirinya sendiri dan mempu­nyai arah tujuannya sendiri (Dhp. 380). Dapat juga dikatakan ia ada­lah mi­lik dirinya sendiri dan menjadi tuan atas dirinya sendiri. Ia ha­rus men­jadi dan mewujudkan dirinya sen­diri, serta dapat menolong di­ri­nya sendiri. Peserta didik bu­kan objek, bukan gudang kosong yang diisi tergantung pada gurunya. Peserta didik harus berusaha sen­diri dan mam­­­pu mandiri. Ia adalah subyek yang aktif dan bertang­gungjawab atas karma atau per­buatannya.
Menghargai individualitas tidak berarti menerima individualisme yang bersifat egoistis. Buddha menolak keakuan dan egoisme (S. III. 21). Manusia adalah makhluk sosial, yang ti­dak hidup sendiri. Bah­kan dirinya pun bukan miliknya sendiri (Dhp. 62). Setiap individu sa­ling ber­in­ter­aksi dan saling bergantungan. Se­luruh fenomena di alam semesta ini saling mempengaruhi. Ketika kita memikirkan sesosok manusia, seperti juga setangkai bunga, sebutir debu, pikiran kita tidak dapat dipisahkan dari konsep yang satu dan yang banyak sebagai suatu kesatuan. Dan yang satu dengan yang lain saling bergantung karena adanya perbedaan.

Share this article :
 

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Dassania Suyatno - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger