Pendidikan adalah penerusan nilai, pengetahuan,
kemampuan, sikap dan tingkah laku; yang dalam arti luas pendidikan merupakan
hidup itu sendiri (dan belajar itu seumur hidup), sebagai proses menyingkirkan
kebodohan dan mendewasakan diri menuju kesempurnaan. Pendefinisian ini
mendekati pandangan sosiologis, antropologis dan psikologis. Disiplin keilmuan
lain mungkin saja memiliki rumusan yang lebih khusus. Pendidikan merupakan
usaha yang disengaja dan terencana untuk menolong seseorang belajar dan
bertanggungjawab, mengembangkan diri atau mengubah perilaku, sehingga bermanfaat
bagi kepentingan individu dan masyarakat. Dengan memiliki pengetahuan,
seseorang memiliki bekal untuk bekerja, dan membantu atau melayani orang lain
dengan baik.
Tujuan umum pendidikan tak berbeda dengan tujuan
pembabaran agama sebagaimana yang diamanatkan oleh Buddha kepada enam puluh
orang Arahat. Mereka mengemban misi atas dasar kasih sayang, demi kebaikan, membawa kesejahteraan,
keselamatan dan kebahagiaan bagi orang banyak (Vin.I.21). Karena mendatangkan kebaikan ini, memiliki pengetahuan
dan keterampilan merupakan berkah utama (Mangala-sutta).
Pendidikan agama Buddha berdasarkan
kasih sayang, menjadi salah satu cara untuk menyingkirkan penderitaan dan
memperbaiki nasib seseorang. “Di sini Yasa, tiada yang mencemaskan. Di sini
Yasa, tiada yang menyakitkan. Ke sini Yasa, Aku akan mengajarmu,” ucap Buddha
kepada Yasa (Vin. 1. 15). Buddha
adalah guru yang sering diposisikan juga sebagai dokter, dan ajaran-Nya diibaratkan
sebagai obat yang dipergunakan dengan tepat (Pmj. 21).
Pendidikan agama jelas menolong untuk menghentikan
segala bentuk kejahatan. “Aku telah berhenti. Engkau pun berhentilah,”
seru Buddha kepada Angulimala (M. II.
99). ”Melihat kejahatan sebagai kejahatan, inilah ajaran Dharma yang
pertama. Setelah melihat kejahatan sebagai kejahatan, jauhilah itu,
singkirkan itu hingga bersih, bebaskan diri dari hal itu, inilah ajaran Dharma
yang kedua.” (It. 33).
Ajaran Buddha atau Dharma dipandang
sebagai pelita yang menerangi kegelapan. Buddha mengajarkan:' Peganglah
teguh Dharma sebagai pelita, peganglah teguh Dharma sebagai pelindungmu, dan
dengan itu berarti seseorang menjadi pelita dan pelindung bagi diri sendiri,
sehingga tidak menyandarkan nasibnya pada makhluk lain (D. II.100).
D. Dasar Psikologis Pendidikan.
Teori Konvergensi mendekati pandangan Buddhis.
Teori pendidikan terkait dengan perkembangan anak, dapat dibedakan atas: 1)
Teori empirisme (John Locke), optimisme bahwa lingkungan dapat diatur dan
dikuasai oleh manusia untuk membentuk anak yang lahir bagaikan kertas putih
yang bersih (tabula rasa). 2) Teori nativisme atau pesimisme (Schopenhauer),
berpendapat bahwa anak sudah ditentukan sejak lahir, berpembawaan baik dan
buruk, sehingga lingkungan tak berdaya mempengaruhi perkembangan anak. 3)
Teori naturalisme atau negativisme (J.J. Rousseau) melihat semua manusia lahir
dengan pembawaan baik, tetapi menjadi buruk karena pendidikan yang diberikan
oleh manusia sendiri, sehingga sebaiknya proses pendidikan diserahkan saja pada
alam. 4) Teori konvergensi (William Stern) berpendapat bahwa pembawaan maupun
lingkungan kedua-duanya mempunyai pengaruh terhadap hasil perkembangan anak.
Orang dilahirkan dengan pembawaan baik dan buruk, serta dapat berubah karena
pengaruh lingkungan, dalam hal ini maksudnya pendidikan. Hasil pendidikan
bergantung dari pembawaan dan lingkungan. Buddha lebih jauh lagi menunjukkan
bagaimana perbuatan aktif masa sekarang dapat meniadakan akibat karma buruk
masa lalu.
Manusia dilahirkan dengan harkat dan martabat yang sama.
Bahkan semua makhluk mempunyai potensi untuk mencapai kesempurnaan dan
menjadi Buddha. Buddha sendiri telah berprasetia untuk menolong seluruh umat
manusia menjadi sama seperti Dia (Saddharmapundarika-sutra
II). Masalahnya tinggal pada usaha dan perjuangan masing-masing.
Kesempatan bukan ditentukan oleh kelahiran atau keturunan, tetapi lebih
tergantung pada perbuatan atau karma seseorang dalam kehidupan sekarang.
Karena itu manusia dapat mengubah nasibnya. Dalam hal ini pendidikan
merupakan pertolongan yang datang dari lingkungan atau pihak lain.
Walau memiliki kesamaan dalam sifat-sifat umum, setiap
manusia memiliki sifat-sifat khas yang berbeda. Tidak ada manusia yang persis
sama di dunia, sekalipun anak kembar. Kesamaan harkat tidak meniadakan
perbedaan individual setiap manusia yang memiliki karma masing-masing. Karma
membagi para makhluk menjadi berbeda. Dilihat dari kelahirannya, ada yang
menjadi anak orang kaya, ada yang miskin; ada yang sehat, ada yang cacat atau
sakit-sakitan; ada yang cantik, ada yang buruk rupa; dan sebagainya (M. III. 202-203). Karena itu setiap
orang bersifat unik, berbeda pembawaan atau bakat. Dengan sendirinya pula
berbeda kemampuan, kecerdasan, dan kecenderungan atau minatnya.
Bakat diartikan sebagai kemampuan bawaan, sebagai
potensi yang masih perlu dikembangkan dan dilatih agar dapat terwujud. Kemampuan
merupakan daya untuk melakukan suatu tindakan sebagai hasil dari pembawaan dan
latihan. Bakat dan kemampuan menentukan prestasi. Prestasi mencerminkan
bakat, tetapi belum tentu orang berbakat akan mencapai prestasi yang tinggi.
Hal-hal lain yang ikut menentukan prestasi adalah motivasi dan minat,
perjuangan dan keuletan (yang tak lain dari karma masa sekarang), dan faktor
luar atau lingkungan. Faktor lingkungan bisa berupa kesempatan, sarana dan
prasarana, dukungan orang lain, tempat tinggal, status sosial ekonomi dan
sebagainya.
2. Perkembangan Individu
Buddha membedakan tingkat perkembangan manusia dalam 4 golongan
(A. II.135). Yang pertama, jenius (ugghatitannu),
diumpamakan sebagai bunga teratai yang telah muncul di atas permukaan air
dan pasti akan mekar. Yang kedua, intelektual (vipancitannu), seperti bunga teratai yang segera akan muncul di
atas permukaan air. Yang ketiga, orang yang dapat dilatih (neyyo), bagaikan bunga teratai yang agak jauh di dalam air,
sehingga perlu waktu yang cukup lama untuk muncul di atas permukaan air. Yang
keempat, orang yang gagal dilatih (padaparamo),
menyerupai bunga teratai yang tidak sempat muncul di atas permukaan air.
Sistem pendidikan formal yang massal dimungkinkan dengan memperhatikan
penggolongan tingkat perkembangan peserta didik. Bilamana terdapat sejumlah
peserta didik yang hampir bersamaan tingkat kemampuan, sama kebutuhan dan minatnya,
perlakuan yang sama bagi semua murid pun menjadi cukup beralasan.
Melihat keunikan dan tingkat perkembangan individual,
seorang peserta didik mungkin saja menunjukkan kepandaian yang jauh melampaui
teman-teman seusianya. Dengan demikian usia yang terlalu muda tidak boleh
menjadi penghalang untuk menempuh dan menyelesaikan suatu jenjang pendidikan
yang lebih tinggi dari biasanya. Mereka yang berbakat dan berprestasi
sepatutnya mendapat perlakuan khusus untuk mewujudkan dirinya secara optimal.
Pengakuan terhadap anak jenius berlaku pula dalam hal kearifan. Buddha menyatakan
bahwa seseorang dituakan bukan karena usia, tetapi karena kebijaksanaannya (A. II. 22).
Mereka yang lemah dan tertinggal juga memerlukan
perhatian khusus, sesuai dengan kebutuhannya. “Barangsiapa tidak mendengar
atau belajar, ia akan menjadi tua seperti sapi. Perutnya makin membuncit,
tetapi kepandaiannya tidak berkembang. Sebaliknya barangsiapa telah banyak
mendengar dan belajar, lalu memandang rendah dia yang tertinggal dalam
pendidikan, bagaikan orang buta yang memegang
lampu, begitu aku menilai orang seperti itu,” demikian dikatakan oleh Ananda (Thag. 1025-1026).
3. Individualitas Bukan Individualisme
Setiap orang adalah pelindung bagi dirinya sendiri
dan mempunyai arah tujuannya sendiri (Dhp.
380). Dapat juga dikatakan ia adalah milik dirinya sendiri dan menjadi
tuan atas dirinya sendiri. Ia harus menjadi dan mewujudkan dirinya sendiri,
serta dapat menolong dirinya sendiri. Peserta didik bukan objek, bukan
gudang kosong yang diisi tergantung pada gurunya. Peserta didik harus berusaha
sendiri dan mampu mandiri. Ia adalah subyek yang aktif dan bertanggungjawab
atas karma atau perbuatannya.
Menghargai individualitas
tidak berarti menerima individualisme yang bersifat egoistis. Buddha menolak
keakuan dan egoisme (S. III. 21).
Manusia adalah makhluk sosial, yang tidak hidup sendiri. Bahkan dirinya pun
bukan miliknya sendiri (Dhp. 62).
Setiap individu saling berinteraksi dan saling bergantungan. Seluruh
fenomena di alam semesta ini saling mempengaruhi. Ketika kita memikirkan
sesosok manusia, seperti juga setangkai bunga, sebutir debu, pikiran kita tidak
dapat dipisahkan dari konsep yang satu dan yang banyak sebagai suatu kesatuan.
Dan yang satu dengan yang lain saling bergantung karena adanya perbedaan.
Post a Comment