Pendidikan, yang merupakan salah satu pranata
sosial yang penting bagi terciptanya kehidupan masyarakat yang demokratis,
harus diberdayakan bersama-sama dengan pranata hukum, pranata sosial-budaya,
ekonomi dan politik. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa pranata pendidikan
masih terlalu lemah sehingga kurang mampu membangun masyarakat belajar.
Masyarakat belajar ditandai dengan besarnya perhatian dan partisipasi semua
komponen masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan sebagai suatu gerakan
rekonstruksi sosial. Akibatnya, persoalan-persoalan kemasyarakatan yang muncul,
seperti disintegrasi sosial, konflik antaretnis, kekerasan, penyalahgunaan
obat-obat terlarang, pola hidup konsumtif tidak dapat segera ditangani secara
tuntas. Oleh sebab itu, untuk saat ini dan masa yang akan datang perlu dibangun
dan dikembangkan sistem pendidikan nasional atas dasar kesadaran kolektif
bangsa dalam rangka ikut memecahkan berbagai masalah sosial yang dihadapi
bangsa Indonesia
Menyikapi beratnya tantangan yang dihadapi oleh
bangsa Indonesia ke depan dan tajamnya persaingan antar bangsa-bangsa di dunia,
bidang pendidikan menempati posisi yang amat strategis dan mutlak perlu
mendapatkan porsi perhatian yang lebih besar dan lebih serius daripada
sebelumnya. Ini mendesakkan perlunya perubahan undang-undang pendidikan yang
mampu menjadi landasan dan pedoman bagi penyelenggaraan pendidikan nasional
yang bersifat komprehensif.
B. Paradigma Pendidikan
Pendidikan
pada dasarnya bersifat terbuka, tidak ada yang disembunyikan (D.III.100). Buddha menyangkal adanya
otoritas segolongan masyarakat tertentu, yakni kasta brahmana, yang
memonopoli kewenangan agama dan bersifat diskriminatif. Pandangan egalitarian
yang melihat semua orang sederajat ini, membuat Buddha menjalani kehidupan
sebagai rakyat biasa. Ia membentuk suatu struktur monastik yang dinamakan
Sangha, menampung murid dari berbagai golongan masyarakat. Jelas pendidikan
dalam agama Buddha tidak memiliki watak feodalistik, melainkan komunalistik.
Penghargaan terhadap manusia ditentukan oleh tingkat prestasi, bukan karena
status sosial ekonomi dan faktor primordial. Seperti kata Hui-Neng, Patriarch
VI: Orang utara mungkin berbeda dengan orang selatan, tetapi pencerahan tidaklah
berbeda di kedua tempat itu.
Landasan Filosofi pendidikan dalam agama Buddha mengacu pada empat kebenaran Mulia (cattari ariya saccani), yaitu mengidentifikasi dukkha, asal mula dukkha, lenyapnya dukkha dan jalan mengakhiri dukkha. Lewat formulasi ini Buddha memberi petunjuk bagaimana sebaiknya mengatasi masalah secara sistematis. Berdasar rumusan Empat Kebenaran Mulia Kowit Vorapipatana mengembangkan konsep Khit-Pen yang artinya ‘berpikir, mengada’ (to think, to be) atau ‘mampu berpikir’ (to be able to think) untuk menggambarkan strategi pengajaran yang mencakup berpikir secara kritis dan kecakapan memecahkan masalah.
Landasan Filosofi pendidikan dalam agama Buddha mengacu pada empat kebenaran Mulia (cattari ariya saccani), yaitu mengidentifikasi dukkha, asal mula dukkha, lenyapnya dukkha dan jalan mengakhiri dukkha. Lewat formulasi ini Buddha memberi petunjuk bagaimana sebaiknya mengatasi masalah secara sistematis. Berdasar rumusan Empat Kebenaran Mulia Kowit Vorapipatana mengembangkan konsep Khit-Pen yang artinya ‘berpikir, mengada’ (to think, to be) atau ‘mampu berpikir’ (to be able to think) untuk menggambarkan strategi pengajaran yang mencakup berpikir secara kritis dan kecakapan memecahkan masalah.
Kepada Bharadvaja Buddha mengajarkan bahwa bagi orang pandai
tidaklah cukup melindungi kebenaran dengan membuat kesimpulan: hanya ini
saja yang benar dan lainnya keliru (M. II.
171). Sebagai agama yang universal, ajaran Buddha menghargai pluralisme,
dan tidak bersifat eksklusif.
Buddha tidak menghendaki pendidikan yang menghasilkan
sebarisan orang buta yang saling menuntun (M.
II. 170). Kepada suku Kalama, Buddha menganjurkan agar tidak segera
percaya terhadap suatu ajaran, apakah itu berupa tradisi hingga yang tertulis
dalam kitab suci sekalipun, sebelum diselidiki sendiri benar (A. I. 191). Buddha sangat menghargai
kebebasan berpikir. Karena itu pendidikan dalam perspektif agama Buddha
tidak bersifat otoriter, melainkan bersifat demokratis. Bahkan Buddha tidak
menginginkan adanya ketergantungan kepada diri-Nya, dan tidak menunjuk pengganti
sebagai pemegang otoritas setelah Ia parinirwana (D. II. 100).
Perbedaan pendapat merupakan suatu kewajaran. Menghadapi
kritik, Buddha mengajarkan untuk menilai sejauh mana kritik itu benar atau
salah, dan hendaknya tidak merasa tersinggung karena kemarahan akan
menghalangi perjalanan mencapai kebebasan. Menghadapi pujian, tidak merasa
puas atau bangga, tetapi juga harus menilai kebenarannya berdasarkan fakta (D. I. 3) Sikap Buddha sangat objektif, bahkan
terhadap diri-Nya sendiri. Seperti yang ditunjukkan dalam percakapan dengan
Sariputra. Sang murid mengatakan bahwa ia yakin, tidak ada orang yang
melebihi kesempurnaan Buddha Gotama. Buddha bertanya, apakah Sariputra
mempunyai pengetahuan langsung tentang diri-Nya, tentang semua Buddha di masa
lampau, atau Buddha di masa depan. Jawab Sariputra, tidak. Lalu apa dasarnya
Sariputra berani membuat kesimpulan seperti
itu? (D.II. 82).
Dharma yang diajarkan oleh Buddha mengundang untuk
dibuktikan, disebut ehipassiko,
artinya ‘datang dan lihat’ (A. III. 285).
Karena itu pendidikan memberi tempat yang seluas-luasnya pada pengujian,
pemahaman yang rasional, dan pengalaman empiris. Dalam praktiknya orientasi
pendidikan harus pada proses. Suatu proses pada dasarnya merupakan rangkaian
sebab dan akibat. “Seseorang yang melihat sebab-akibat, melihat Dharma” (M.I.191).
C. Pengertian dan Dasar Filosofis Pendidikan
Buddhist
Pendidikan berasal dari istilah sikkha (latihan), tersirat bahwa
pendidikan merupakan proses belajar, latihan pelajaran, mempelajari,
mengembangkan dan pencapaian penerangan (Butr-Indr, 1979). Pada isitilah ini
termasuk juga disiplin moral (síla),
konsentrasi (samadhi), dan
pengetahuan atau kebijaksanaan (pañña)
(A.I.231). Demikian proses secara
terus-menerus dari perhatian pendidikan sebagai sifat fungsional dari latihan, praktek, dan kemajuan
setahap-demi setahap (anupubbasikkha
anupubbakiriyä anupubbapaëipadä).
Selama empat puluh lima tahun Sang Buddha membabarkan
jalan pembebasan. Beliau dikenal sebagai guru para dewa dan manusia (sattha devamanussanam) dan pernbimbing
manusia. Disiplin moral (síla),
meditasi (samadhi) dan kebijaksanaan
(pañña) yang dicapai berdasarkan
perealisasian keadaan sebenarnya dan kehidupan merupakan dasar dan Jalan yang
diajarkan beliau. Hal ini dihubungkan belajar seumur hidup dan meditasi yang
ditujukan pada latihan dan mengendalikan pikiran (batin).
Masalah sentral dalam pandangan Buddha adalah penderitaan
manusia. Penderitaan bersumber pada keinginan yang rendah (tanha). Keinginan sendiri timbul tergantung pada faktor lain yang
mendahuluinya. Dalam merumuskan rangkaian sebab musabab yang saling
bergantungan (paticcasamuppada),
Buddha menempatkan di urutan pertama kebodohan (avijja). “Yang lebih buruk dari semua noda itu adalah kebodohan.
Kebodohan merupakan noda yang paling buruk. Para Bhikkhu, singkirkan noda ini
dan jadilah orang yang tak bernoda” (Dhp.
243).
Agama Buddha memandang bahwa
kebodohan merupakan akar penyebab penderitaan dan menyebabkan pikiran yang
tidak berkembang menjadi gangguan pencapaian kedamaian, maka seseorang harus
menekankan dalam hidupnya untuk mengembangkan mental dan proses pendidikan agar
tujuan mulianya tercapai.
Post a Comment